Ad Code

Responsive Advertisement

pengalaman naik gunung

perkenalkan kami reyvan,rauf,raka dan anto Kami berempat memulai pendakian dari basecamp sekitar jam 1 siang. Cuaca cerah tapi angin dingin menusuk sejak awal. Jalur cukup landai, suara burung sesekali terdengar dari balik pepohonan. Masih aman, masih santai.

Memasuki pos 2, suasana mulai berubah. Hutan jadi lebih rapat, suara hewan makin jarang. Hanya suara daun kering yang terinjak. Di sinilah kejadian aneh mulai muncul.

Di depan kami ada sebuah pohon besar dengan akar yang menjuntai. Dari jauh terlihat seperti ada seseorang berdiri di belakangnya, memakai jaket hitam. Salah satu teman kami, Raka, melambai sambil bilang, “Tunggu, bang!”

Tapi saat kami mencapai pohon itu…
Tidak ada siapa-siapa.

Kami saling pandang, lalu pura-pura tidak mempermasalahkannya agar suasana tetap kondusif.

 Pos 3: Kabut Turun Terlalu Cepat

Biasanya kabut turun menjelang sore. Tapi baru jam 3, kabut sudah menebal seperti tirai putih. Jarak pandang cuma 3–4 meter.

Kami memutuskan istirahat. Saat duduk, tiba-tiba ada suara langkah pelan dari balik kabut—ritmis, seperti seseorang menyeret sepatu di tanah.

Seret… seret… seret…

“Pendaki lain?” tanya Danu.

Kami panggil, “Halo!”
Tidak ada jawaban.

Langkah itu berhenti tepat di belakang kami. Saat kami menoleh, kabut bergerak seperti disibakkan angin, tapi tidak ada siapa-siapa.

 Camp Area

Kami tiba di area camp menjelang senja. Setelah mendirikan tenda dan menyalakan kompor, suasana mulai tenang. Namun saat makan, Raka tiba-tiba bertanya:

“Kalian dengar suara orang nangis?”

Awalnya kami pikir dia bercanda. Tapi saat semua diam, samar-samar terdengar:
“Haaaa… haaa…”
pelan, panjang, seperti suara orang menahan sakit.

Sumbernya dari arah hutan di bawah jalur.

Kami cek senter—tidak ada apa-apa. Suara itu datang sebentar, menghilang, lalu datang lagi dari arah berbeda, seolah mengitari camp.

Malam itu kami tidak banyak tidur.

 Puncak dan Jawaban

Keesokan paginya, kami mendaki ke puncak. Di tengah perjalanan, kami bertemu dua pendaki senior yang baru turun. Setelah ngobrol sebentar, mereka bertanya: ``Kalian tadi malam dengar suara nangis, kan?”                                                                                                                                                        Kami kaget.
Pendaki itu lanjut cerita, “Udah sering. Katanya ada pendaki yang hilang bertahun-tahun lalu karena terpisah kabut di jalur timur. Dari dulu, suara itu muncul kalau kabut turun cepat.”

Kami saling menatap—jadi yang kami dengar semalam bukan hanya halusinasi.

Tapi perjalanan ke puncak tetap kami lanjutkan. Dan ketika matahari terbit di atas awan, semua rasa takut malam sebelumnya seolah terbayar. Hening, indah, dan terasa sangat dekat dengan langit.

Saat turun nanti, kami semua sepakat:
Pengalaman itu menegangkan… tapi membuat gunung terasa lebih hidup dari yang kami kira.

Post a Comment

0 Comments